Rabu, 10 November 2010
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TEATER PM TOH
Sejarah Teater Tutur Tradisional Aceh
Kesenian tradisional itu salah satunya yaitu teater tutur Aceh yang mempunyai sarat muatan analisis dan bentuk kerja praktis, yang meliputi struktur dramatik dan sarat dengan ‘magis’. Analisa kajian ini akan mengurai beberapa bentuk kesenian teater Aceh, meliputi bentuk kesenian yang dimainkan secara gruping (kelompok), maupun kesenian yang dimainkan secara individual (satu orang).
Berdasarkan data yang bersumber dari tokoh budayawan Aceh menerangkan bahwa kesenian teater tradisional yang dimiliki Aceh antara lain seperti; Dangdeuria (Kabupaten Aceh Selatan) Peh Tem (Kabupaten Pidie), Drama Aceh, Gelanggang Labu, Biola Aceh, (Kabupaten Aceh Utara) To’ed, Didong (Kabupaten Aceh Tengah).
Informasi yang dihimpun dari seorang pelaku kesenian juga akademisi teater yaitu Sulaiman Juned (Padangpanjang, 2003), menerangkan bahwa dari kesemua bentuk kesenian di atas memiliki gambaran ciri-ciri sebagai berikut:
(1). DangDeuria Dangdeuria adalah kesenian teater tutur, kesenian ini memiliki ciri-ciri hampir menyerupai dengan kaba dari Minang Kabau, yang membedakannya ada pada syair cerita, irama pengucapan, dan bahasa.
(2). Peh Tem memiliki ciri-ciri yang sama dengan dangdeuria, cerita yang dibawa sama dengan kisah Dangdeuria, yaitu bersumber dari kitab dan hikayat Tengku Malem Diwa dan Hasan Meutua, akan tetapi bahasa yang di gunakan adalah bahasa Aceh,
(3). Toe’ed adalah kesenian tutur yang berasal dari Aceh Tengah, ciri pertujukannya dituturkan oleh satu orang, cerita yang dibawakan berkisah cerita legenda masyarakat Gayo Aceh Tengah, dan kisah panorama alam Aceh Tengah, bahasa yang digunakan adalah bahasa Gayo,
(4). Drama Aceh, dan Gelanggang Labu, bentuk teknisnya sama-sama dimainkan secara berkelompok, bahasa yang digunakan menggunakan bahasa Aceh, ilustrasi peceritaan hampir mirip dengan teater bangsawan dari Provinsi Riau, dan pemainnya diperkirakan berjumlah lebih dari sepuluh orang,
(5). Biola Aceh,, Biola Aceh adalah sandiwara yang menggunakan alat musik biola. Pemainnya berjumlah tiga orang, diantaranya seorang laki-laki berperan menjadi pemeran wanita, sedangkan pemain biola berfungsi sebagai pemain, pemusik juga bertugas mengarahkan jalannya peristiwa cerita. Cerita bersumber dari pengalaman sosial yang dialami oleh pengarah cerita. Terkadang peristiwa cerita mengikuti pesanan dari pemesan,
(6). Didong, adalah kesenian tutur yang dimainkan secara berkelompok, kesenian ini menggunakan syair pantun, bahasa yang digunakan adalah bahasa gayo, biasanya didong ini dimainkan dengan cara berkelompok dan menggunakan pantun. pola lantai hanya dengan membuat sebuah lingkaran, kegiatan ini biasanya digelar pada saat musim panen tiba. Cerita yang dipakai hampir sama dengan toe’ed, namun ceritanya juga dapat disesuaikan dengan tema sosial yang ada, dan juga dapat dipesan sesuai permintaan.
Bentuk kesenian teater tradisional Aceh semuanya masih menggunakan teks, dan syair pantun yang dituturkan, dan pertunjukannya juga masih menggunakan kekuatan musik berirama akustik, dan alat perkusi seperti Biola, Rapa-i, Canang dan lainnya.
Beragam jenis kesenian teater tradisonal Aceh ini dapat mengilhami peneliti untuk sepakat dengan yang dikatakan Rendra dengan memahami seni rakyat tradisional haruslah diusahakan agar tetap mampu tumbuh bersama pertumbuhan masyarakatnya, supaya tradisional itu sendiri tidak menyalahi kiprahnya untuk tetap tumbuh dan berkembang. Apa yang dikatakan Rendra dalam sebuah buku: “ Seni tradisional tumbuh dan berkembang serta dibutuhkan untuk dan oleh masyarakat pendukungnya”, maka dalam gerak hidupnya, ia bergiat bersama pertumbuhan masyarakatnya sehingga tradisi yang tidak mampu berkembang adalah tradisi yang menyalahi kifrah hidupnya.
Upaya-upaya mengembalikan kiprah roh tradisi inilah yang kemudian dipakai oleh peneliti untuk menjadi landasan inspirasi peneliti untuk mengumpulkan Informasi mengenai teater tradisonal Aceh, dan informasi ini pula yang membawa peneliti untuk fokus pada objek penelitian pengembangan teater tutur Aceh yang sekarang dikembangkan oleh Agus Nur Amal. Teater tradisional ini kemudian dikenal dengan sebutan PMTOH.
Apabila diperhatikan dari bentuknya teater tutur PM TOH yang dimainkan oleh Agus Nur Amal maka ciri-cirinya memiliki dasar yang sama dengan Tengku Haji Adnan.
Sejarah dan Asal-usul PM TOH
PM TOH adalah salah satu kesenian tradisi Aceh yang mengandung unsur seni suara, seni sastra dan seni tutur. PM TOH sudah lahir sejak tahun 1800-an. Dahulu, PM T0H erat kaitannya dengan "Meuhaba"[1]. PM TOH merupakan bentuk seni tutur kontemporer dari seni tutur tradisi Aceh, juga PM TOH merupakan varian dari Meuhaba, tradisi lisan asal Aceh. PM TOH termasuk teater tutur karena dalam PM TOH terdapat unsur-unsur teater, yaitu cerita atau lakon, ekspresi (mimik) dari penutur, dan adanya penonton. Pertunjukan ini dituturkan secara lengkap oleh seseorang.
”...Keterangan dari Zulkifli, Muda Belia yang kini tinggal di Bakongan mempelajari Hikayat Dangdeuria, hikayat yang dipentaskan pertama pada tahun 1800-an inilah hikayat yang paling sering diminta untuk dituturkan dalam setiap hajatan. Sedangkan guru muda (Mak Lape) itu mempelajari Hikayat Malem Diwa dan Hikayat Dangdeuria dari Mak Lape sendiri”, ( Tempo, 30/7/06, hal 62).
PM TOH adalah nama sebuah perusahaan bus yang berasal dari kepanjangan "Perusahaan Motor Transport Ondernemer Hasan". Kemudian nama bus PM TOH ini digunakan oleh masyarakat Aceh sebagai nama kesenian teater tutur Aceh yang dimainkan Tengku Adnan, penamaan PM TOH pada kesenian tradisi ini diambil dari salah seorang tokoh yang pandai dan sering mempertunjukkan teater tersebut di masyarakat Aceh semasa hidupnya pada tahun 1950-an. PM TOH hanya diceritakan kepada satu atau dua orang saja diwaktu senggang atau ketika sedang bekerja mengarit padi di sawah. Kemudian karena ceritanya bagus dan menarik serta mengandung nilai-nilai, seperti ; pendidikan, nasehat, nilai kehidupan, nilai agama dan sebagainya, maka selanjutnya PM TOH semakin mendapat sambutan hangat dari masyarakat luas di kabupaten Aceh Selatan (khususnya). Hingga saat ini, kesenian tersebut menjadi suatu cabang kesenian yang digemari oleh seluruh masyarakat Aceh[2].
Cerita Bus tentang terjungkalnya PM TOH di jembatan darurat dekat rumah Raja di Keudee Manggeng inilah yang menjadi inspirasi karena kekhasan permainan klaksonnya yang berirama dengan ciri khas permainan klakson pengemudi asal Medan. tapi bus itu terjungkal di sebuah jembatan darurat dekat rumah. Kemudian pada malam harinya diadakan pertunjukan Meuhaba yang dibawakan oleh Tengku Haji Adnan, Tengku Haji Adnan menirukan lagu.-lagu yang biasa diperdengarkan di bus PM TOH melalui kedua lubang hidungnya. Sejak itu nama PM TOH langsung melekat pada diri Tengku Haji Adnan, menjadi Adnan PM TOH. Bahkan, nama teater tutur ini yang dulunya terkenal dengan nama Meuhaba, sekarang lebih populer dengan sebutan PM TOH. Hingga kini, setiap ia mempertunjukkan PM TOH, ia selalu menirukan bunyi klakson dari sebuah bus lintas Sumatera yang bernama PM TOH tersebut. Oleh karena Adnan dijuluki oleh masyarakat sebagai PM TOH.
Tengku Haji Adnan sendiri mempelajari hikayat dari seseorang bernama Muhammad, seorang ulama yang lumpuh di kecamatan Manggeng, Aceh Selatan [sekarang Aceh Barat Daya][3], pada pertengahan 1940-an. Mak lape, begitu ulama tersebut disapa, sudah dikenal sebagai penutur hikayat yang handal. Pada masa kejayaannya, Mak lape mempopulerkan sebuah hikayat yang bernama hikayat Dangdeuria. Hikayat Dangdeuria ini adalah sebuah legenda yang menceritakan kisah sebuah dinasti kerajaan yang lokasinya tidak jelas atau antah berantah. Hikayat Dangdeuria ini merupakan cerita hikayat yang sangat terkenal dan digemari oleh masyarakat Aceh[4].
Adnan menghabiskan waktu sepuluh tahun untuk menguasai satu cerita hikayat, termasuk hikayat Dangdeuria dan hikayat lainnya yang muncul setelah itu, seperti hikayat Malem Diwa. Kesulitan menguasai cerita tersebut karena isi hikayat yang begitu panjang. la mengikuti kemana pun Mak Lape berpentas. Adnan menirukan cara Mak Lape melagukan hikayat itu, lalu mempelajari sejarah hikayat serta mulai menghafal struktur cerita. Setelah ia merasa yakin dengan kemampuan menghafal dan melantunkan hikayat, Adnan pun mencoba memberanikan diri untuk tampil di depan umum, khususnya di daerah asalnya Aceh Barat Daya ( Manggeng, Blang Pidie, Lama Inong, Susoh ). Ia mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat, karena itu secara rutin ia mengadakan pertunjukan.
Tengku Adnan mulai memasukkan beberapa properti baru yang tidak sama dengan Mak Lape, tapi hal ini membuat hubungan mereka menjadi memburuk. Dalam setiap pertunjukannya, Mak Lape menggunakan pedang 'on teubee'[5] yang terbuat dari pelepah kelapa yang sesekali dipukul ke sebuah bantal berbalut tikar pandan. Alat tersebut disamping sebagai perangkat juga sebagai tanda interval sebuah episode[6]. Selain itu, Mak Lape juga menggunakan sending bambu jenis bansi yang sering ditiup saat istirahat (biasanya ditiup setelah satu jam membawa hikayat), dan sebuah rapa-i yang sesekali ditabuh mengiringi irama rapa-i dabus serta untuk membasahi kerongkongannya ia cukup dengan menyediakan sebuah kelapa muda ( u teubok ). Semuanya itu Mak lape gunakan sebagai sarana untuk bercerita. Lain halnya dengan Tengku Haji Adnan. Adnan ingin menggunakan peranti apa saja yang memungkinkan pertunjukannya menjadi lebih hidup. Oleh karena itu dalam setiap pertunjukan Adnan selalu membawa dua peti berisi properti, termasuk hidung palsunya.
Sama halnya dengan seorang dalang dalam pertunjukan teater boneka, tukang cerita atau penutur PM TOH dapat bertindak sebagai narator, juga merangkap sebagai tokoh dalam cerita. Uniknya, pencerita dapat menjadi tokoh apa saja dengan jenis kelamin berbeda pula. Ketika pencerita hendak berubah dari tokoh satu ke tokoh lainnya, penutur tersebut juga mengubah suara dan kostum yang dikenakannya. Misalnya, dari seorang ibu yang berpakaian sederhana hendak berubah menjadi anak sekolah, pencerita yang mengenakan kerudung lalu mengganti kerudungnya dengan topi sekolah. Si pencerita menggunakan simbol-simbol dalam setiap perubahan karakter tokoh yang dimainkan secara sederhana.
Selain itu, dalam setiap pertunjukan, seorang dalang atau penutur juga memiliki fungsi sosial sekaligus sebagai komunikator (menyampaikan pesan-pesan yang bersifat membangun), sebagai inovator (harus berorientasi pada masa kini dan masa depan sehingga karya-karyanya memiliki relevansi zaman, sekaligus juga memberikan motivasi timbulnya proses perubahan sosial), dan sebagai emansipator[7]. Rasa imajinasi serta kreativitas bagi seorang penutur atau dalang tidaklah cukup, karena ia juga harus menguasai bekal dasar yaitu penguasaan cerita serta memiliki kepiawaian unggul seorang penyaji. Selain itu ia juga harus memahami bidang lain seperti masalah keagamaan, falsafah hidup, pendidikan, kebatinan, kesusastraan, ketatanegaraan, teknologi, dan sebagainya[8].
Pemain PM TOH dalam memainkan sebuah cerita memiliki gaya duduk tersendiri. Gaya duduk tersebut ialah dengan menutup telapak kaki kiri ke arah lobang dubur, sementara itu kaki kanan diletakkan dengan lutut berdiri. Hal ini dilakukan selain untuk menghindari kepenatan semalam suntuk dalam membawakan cerita, juga untuk memudahkan si penutur cerita dalam memainkan berbagai gerak dalam lakon dan beraksi dengan keutrip jarou (gemericik jari tangan).
Selain memiliki gaya duduk, seorang penutur PM TOH juga memiliki kemerduan suara. Itulah kelebihan yang dimiliki oleh Mak Lape dan Tengku Adnan. Mereka memiliki keahlian dalam memainkan irama. Ada sekitar dua belas irama yang mereka kuasai, antara lain irama sendu syandu mendayu-dayu, irama ratapan rintihan, irama provokasi, irama membentak, irama memaki, irama menjerit hingga meniru berbagai macam suara yang ada dalam cerita. Oleh karena itu mereka berdua dijuluki oleh oleh masyarakat sebagai ’penutur lisan seribu suara'. Selain memiliki kesamaan dalam paduan suara, mereka juga memiliki kelebihan yang berbeda-beda. Mak lape, misalnya, memiliki kelebihan dalam berdialog menggunakan bahasa Jamee ( Minang ) dan Melayu (Indonesia) hingga dialog bahasa Cina yang kocak serta memiliki kemampuan memainkan mimik wajah. Sedangkan Tengku Adnan memiliki kelebihan dalam meniup seruling bansi, mampu melucu dengan memanfaatkan kedua lobang hidungnya dalam menirukan berbagai macam irama (termasuk irama klakson bus PM TOH), menguasai ilmu agama ( oleh sebab itu, Adnan sering memasukkan beberapa ayat suci Al-qur'an atau hadits ke dalam cerita), memainkan properti serta Adnan lah yang mempopulerkan hikayat Dangdeuria keseantero Aceh.
Mereka adalah orang-orang yang berjasa dalam melestarikan kebudayaan Aceh hingga melahirkan empat generasi muda yang melanjutakannya. Namun hanya dua generasi yang mengembangkan kebudayaan Aceh tersebut adalah Muda Belia (putra dari Mak Lape) dan Agus Nur Amal (belajar pada Tengku Adnan), yaitu pada tahun 1990-an[9].
[1] Meuhaba merupakan bahasa Aceh yang artinya bercerita.
[2] Hasil lokakarya 4 s/d 8 Januari 1981 di Banda Aceh yang membahas tentang kesenian tradisional Aceh. Diterbitkan oleh Departernen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Daerah Istimewa Aceh ( Proyek Pengembangan Kesenian Daerah Istimewa Aceh ).
[3] [ ] tanda identitas daerah
[4] Swadaya ' Pembawa Aspirasi Masyarakat Abdya*, edisi 05/I/Agustus 2007.
[5] On Teubee dalam bahasa Aceh artinya daun tebu
[6] Dalam 'interval' biasanya penutur berkata " Loun peuduo haba di sinou siat lacin laun sambat dua lee banja", artinya "Saya berhentikan dulu ini di sini nanti akan saya sambung lagi dengan yang lain". Penjelasan tersebut merupakan hasil wawancara dengan bapak Marzuki Hasan pada t anggal 21 M aret 2008.
[7] membantu mengantarkan penonton kelompok atau individu ketingkat perkembangan pribadi yang lebih tinggi dengan meningkatkan daya apresiasi, dan kepekaan rasa sehingga akan memperkaya pengalaman jiwanya, dan dapat mempengaruhi perilaku dan perubahan sikap.
[8] Buku "Teater Boneka Indonesia" yang diterbitkan oleh Yayasan Harapan Kita/ BP 3 TMII 1996
[9] Menurut Marzuki Hasan, k edua generasi itu memiliki perbedaan dari segi pertunjukan. Muda Bella merupakan anak dari Mak Lape, oleh karena itu dalam melestarikan PM TOH masih berpegang pada tradisi. Sedangkan Agus Nur Amal berpegang pada struktur Tengku H Adnan dan telah mengalami perkembangan dari gurunya tersebut.
Sabtu, 08 Mei 2010
"Theatre Meuhan Bek" (MTB) Acehnese.
Rabu, 28 April 2010
Selasa, 27 April 2010
Seni Pertunjukan Di Aceh dan Refleksi Seni Pertunjukan Di Aceh
Akan tetapi pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kewajaran. Pandangan tersebut merupakan bagian dari langkah manusia lain dalam menghindari bentuk kerja politik semacam ini. Permasalahan ini pun terjadi dikarenakan mereka sudah melihat realita yang sebenarnya akibat dari pengaruh dunia politik. Kalimat seni ini pun akhirnya mengandung pemahaman multi tafsir.
“Pengaruh politik” dalam ranah kesenian di Aceh dilihat dari mata masyarakat awam kalau diperhatikan secara realistis dan systematis nilai yang lahir adalah nilai “nihil” atau semakin hari memperlihatkan suasana yang tidak menemukan titik terang yang pasti dan semakin pasif, apabila diteliti dari dua aspek pengamatan estetika seni dan kajian seni pertunjukan maka yang terdapat adalah hanya kesenian yang lebih mendekati nilai tradisi dan pop art yang lebih hidup dibanding seni bernilai murni, seperti pertunjukan teater, pameran seni rupa, dan pertunjukan music orkestra .akan tetapi dalam pelaksanaannya pun masih disesuaikan dengan kebutuhan nilai pesan dari acara-acara seremonial yang diadakan oleh birokasi pemerintahan dan adanya event-event seni yang digelar.
Penanda penilaian aktifasi dilihat dari beberapa aspek penilaian seni untuk kebutuhan publik, yang perlu diperhatikan adalah pertama ; kebutuhan masyarakat akan hiburan kesenian tradisi maupun modern sudah terpenuhi apa belum, kedua ; tingkat aktifitas kesenian yang berimbang dari berbagai bentuk serta jenis kesenian dan populasi regulasi yang produktif sudah berjalan, ketiga ; pengaruh dari dampak kesenian yang dihadirkan oleh para pelaku seni dirasa dapat diterima oleh publiK, dan keempat; nilai pendukung seperti sarana dan prasarana yang menunjang sudah bisa dinikmati oleh pelaku dan masyarakat sebagai audiens. Nah, dari empat komponen di atas apakah sudah berimbang!,
Padahal dari penyikapan masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan secara “eksplisit” dari pengaruh kinerja seni dari berbagai komponen kelompok pelaku seni yang terus mempertanyakan kinerja sebuah lembaga yang seharusnya mengayomi insan seni Aceh, sedangkan ironinya masyarakat aceh terus berharap dan menunggu mereka para insan seni untuk dapat bekerja dan “menghibur” serta berkreasi dalam mendukung kebudayaan di Aceh.
Kesalahpahaman yang sekian lama mewarnai pergerakan aktifitas kesenian seni di Aceh dan hal ini pula semakin tergambar jelas dari sebuah masalah dimana seketika masyarakat seni pertunjukan aceh kehilangan taman budaya (sulitnya pengurusan birokrasi pemakian gedung pertunjukan di Taman Budaya Aceh) sebagai tempat berkreasi sekaligus wadah berkumpulnya para insan seni untuk melakukan aktifitas dan pertunjukan seni.
Hanya kesalahan birokrasi dalam lembaga pemerintahan daerah dan pemerintahan kota yang seharusnya dikelola oleh DINAS BUDAYA DAN PARIWISATA dalam penanganan perawatan Taman Budaya Aceh sebagai tempat kesenian Aceh dan kemudian diambil alih oleh PEMDA Aceh yang dampaknya adalah mandeknya pada akses aktifitas seni di Aceh.
Mungkin ini hanya sebuah fenomena sosial dari perjalanan kesenian di masyarakat seni pertunjukan Aceh, akan tetapi masalah ini bukan saja terhenti sampai pada wlayah yang terlihat di masa pemerintahan Irwandi Yusuf dan Nazar, tapi kalau kita melihat kembali kebelakang bahwa masalah ini pun sudah ada sejak zaman penjajahan dimana masyarakat yang melakukan aktifitas kesenian tidak diberi tempat oleh penjajah dengan alasan tidak berpihak pada mereka atau dapat mengompori masayarakat untuk dapat mempertahankan semangat jihat.
Hanya kesenian yang berpihak pada mereka saja yang diberi fasilitas, hebatnya lagi dari pihak Belanda memfasilitasi seniman yang berpihak pada mereka diberikan fasilitas yang layak. Hal ini dilakukan oleh mereka dalam kepentingan berkampanye dan propaganda agar satu sisi Khompeni Belanda masih dianggap membela “masyarakat”. Ini hanya ilustrasi penulis membayangkan bagaimana sebuah catatan sejarah perkembangan seni di Aceh di masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Artinya dari nilai-nilai kehadiran insan seni Aceh di kancah nasional ternyata telah menjadi catatan dan menjadi buah bibir yang sampai saat ini masih dibicarakan oleh kalangan masyarakat seni pertunjukan Indonesia. Kehadiran para duta seni Aceh kemudian dikaitkan dengan berbagai persoalan pelik yang hari ini dihadapi masyarakat seni pertunjukan Aceh.
Dalam dunia filsafat, kesusastraan, berbagai ilmu lainya pun mejelaskan bahwa orang-orang yang pernah berjuang lewat eksistensialisme memiliki pengalaman hidup dalam mempertahankan ideology dan ajarannya. Ini ditandai dengan lahirnya paham-paham sosialisme, komunisme serta kapitalisme. lahirnya Carlmaks, Nethze, Adam Smitt dan banyak lagi tokoh-tokoh yang melakukan perubahan bentuk pemikiran lewat perang pemikiran sesungguhnya.
Kembali ke wilayah seni yang berkembang di Indonesia. Namun sosiologi seni Masyarakat Indonesia masih merupakan campur aduk nilai-nilai budaya yang membentang secara historis, yakni sejak masyarakat primitif prasejarah sampai pada masyarakat primordial metropolitan, dan juga membentang secara horizontal, yakni berbagai kesatuan etnik yang berbagai ragam. Dan karena berbagai campuran tadi, maka dalam masyarakat majemuk Indonesia juga terjadi berbagai adukan dari berbagai seni hidup atau teater.
Dinilai dari luar aktifitas budaya yanghidup dan berkembang di desa, Sebelum perang dunia kedua, gejala masih hidupnya seni pertunjukan mesolitik-neolitik di lingkungan masyarakat pun masih tampak, sedangkan di Indonesia sebelum bangsa asing datang dan mengimfasi Indonesia budaya inipun ada, Nampak.kini gejala tersebut semakin menipis. Makin sedikitk anggota masyarakat Kota dan Desa yang mau menanggap jenis-jenis seni pertunjukan asli semacam itu. Bahkan para pewaris seni pertunjukan semaca itu semakin berkurang. Banyak para penari, penutur pantun, dalang dan pelaku budaya tradisional yang sudah tua dan tidak ada upaya meregenerasikan.
Dan bersama berlalunya waktu yang mereka hadapi maka hidup yang mereka jalani tetap hidup di dinia ini, maka nilai hidup ini berakhir pada fase jenis seni pertunujukan mereka ciptakan. Orang barangkali harus mejelajah desa-desa dan kota-kota untuk menemukan kembali sisa-sisa pewaris seni pertunjukan sebab walau nilainya tidak diwariskan pada orang tertentu, tapi nilai ini dapat diserap oleh pendengarnya.
Sabtu, 24 April 2010
search space, place and time
Minggu, 14 Maret 2010
Lelah dan Semangat yang tak Padam akan Karatan
sedikit ada hal yang aneh dari hari ini, pengalaman yang cukup luar biasa dari sebelumnya. seorang adek juniorku memasalahkan pekerjaan yang selama ini menjadi bagian dari kerja profesiku. aku menawarkan sebuah bentuk kerja yang sangat sederhana. tapi dia malah menysahkan proses kerja program dengan hal2 yang wah dan perfecsionis. aneh.....orang nawarin cara yang gampang kok malah cari yang susah......dasar aneh???edan!!