Selasa, 27 April 2010

Seni Pertunjukan Di Aceh dan Refleksi Seni Pertunjukan Di Aceh

Sejak pertama manusia mengenal ilmu seni lewat rasa, cipta, karsa. Manusia selalu menata kehidupan dengan berbagai persoalan dari pranatanya dengan seni, di antaranya melakukan benturan yang menyebabkan pergulatan pilitis sehingga seni yang dipahami adalah seni berpolitik. Banyak pandangan dari para pembuat mahzab menyatakan bahwa pernyataan tersebut lahir dari pandangan manusia yang mengerti terhadap seni mempertahankan hidup. Akhirnya lahir lah pertanyaan dari sebagian manusia lain mengapa pemahaman manusia selalu terjebak dalam objektifitas dan subjektifitas yang tidak jelas tersebut.
Akan tetapi pernyataan tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kewajaran. Pandangan tersebut merupakan bagian dari langkah manusia lain dalam menghindari bentuk kerja politik semacam ini. Permasalahan ini pun terjadi dikarenakan mereka sudah melihat realita yang sebenarnya akibat dari pengaruh dunia politik. Kalimat seni ini pun akhirnya mengandung pemahaman multi tafsir.
“Pengaruh politik” dalam ranah kesenian di Aceh dilihat dari mata masyarakat awam kalau diperhatikan secara realistis dan systematis nilai yang lahir adalah nilai “nihil” atau semakin hari memperlihatkan suasana yang tidak menemukan titik terang yang pasti dan semakin pasif, apabila diteliti dari dua aspek pengamatan estetika seni dan kajian seni pertunjukan maka yang terdapat adalah hanya kesenian yang lebih mendekati nilai tradisi dan pop art yang lebih hidup dibanding seni bernilai murni, seperti pertunjukan teater, pameran seni rupa, dan pertunjukan music orkestra .akan tetapi dalam pelaksanaannya pun masih disesuaikan dengan kebutuhan nilai pesan dari acara-acara seremonial yang diadakan oleh birokasi pemerintahan dan adanya event-event seni yang digelar.
Penanda penilaian aktifasi dilihat dari beberapa aspek penilaian seni untuk kebutuhan publik, yang perlu diperhatikan adalah pertama ; kebutuhan masyarakat akan hiburan kesenian tradisi maupun modern sudah terpenuhi apa belum, kedua ; tingkat aktifitas kesenian yang berimbang dari berbagai bentuk serta jenis kesenian dan populasi regulasi yang produktif sudah berjalan, ketiga ; pengaruh dari dampak kesenian yang dihadirkan oleh para pelaku seni dirasa dapat diterima oleh publiK, dan keempat; nilai pendukung seperti sarana dan prasarana yang menunjang sudah bisa dinikmati oleh pelaku dan masyarakat sebagai audiens. Nah, dari empat komponen di atas apakah sudah berimbang!,
Padahal dari penyikapan masalah yang belum sepenuhnya terselesaikan secara “eksplisit” dari pengaruh kinerja seni dari berbagai komponen kelompok pelaku seni yang terus mempertanyakan kinerja sebuah lembaga yang seharusnya mengayomi insan seni Aceh, sedangkan ironinya masyarakat aceh terus berharap dan menunggu mereka para insan seni untuk dapat bekerja dan “menghibur” serta berkreasi dalam mendukung kebudayaan di Aceh.
Kesalahpahaman yang sekian lama mewarnai pergerakan aktifitas kesenian seni di Aceh dan hal ini pula semakin tergambar jelas dari sebuah masalah dimana seketika masyarakat seni pertunjukan aceh kehilangan taman budaya (sulitnya pengurusan birokrasi pemakian gedung pertunjukan di Taman Budaya Aceh) sebagai tempat berkreasi sekaligus wadah berkumpulnya para insan seni untuk melakukan aktifitas dan pertunjukan seni.
Hanya kesalahan birokrasi dalam lembaga pemerintahan daerah dan pemerintahan kota yang seharusnya dikelola oleh DINAS BUDAYA DAN PARIWISATA dalam penanganan perawatan Taman Budaya Aceh sebagai tempat kesenian Aceh dan kemudian diambil alih oleh PEMDA Aceh yang dampaknya adalah mandeknya pada akses aktifitas seni di Aceh.
Mungkin ini hanya sebuah fenomena sosial dari perjalanan kesenian di masyarakat seni pertunjukan Aceh, akan tetapi masalah ini bukan saja terhenti sampai pada wlayah yang terlihat di masa pemerintahan Irwandi Yusuf dan Nazar, tapi kalau kita melihat kembali kebelakang bahwa masalah ini pun sudah ada sejak zaman penjajahan dimana masyarakat yang melakukan aktifitas kesenian tidak diberi tempat oleh penjajah dengan alasan tidak berpihak pada mereka atau dapat mengompori masayarakat untuk dapat mempertahankan semangat jihat.
Hanya kesenian yang berpihak pada mereka saja yang diberi fasilitas, hebatnya lagi dari pihak Belanda memfasilitasi seniman yang berpihak pada mereka diberikan fasilitas yang layak. Hal ini dilakukan oleh mereka dalam kepentingan berkampanye dan propaganda agar satu sisi Khompeni Belanda masih dianggap membela “masyarakat”. Ini hanya ilustrasi penulis membayangkan bagaimana sebuah catatan sejarah perkembangan seni di Aceh di masa penjajahan Belanda dan Jepang.
Artinya dari nilai-nilai kehadiran insan seni Aceh di kancah nasional ternyata telah menjadi catatan dan menjadi buah bibir yang sampai saat ini masih dibicarakan oleh kalangan masyarakat seni pertunjukan Indonesia. Kehadiran para duta seni Aceh kemudian dikaitkan dengan berbagai persoalan pelik yang hari ini dihadapi masyarakat seni pertunjukan Aceh.
Dalam dunia filsafat, kesusastraan, berbagai ilmu lainya pun mejelaskan bahwa orang-orang yang pernah berjuang lewat eksistensialisme memiliki pengalaman hidup dalam mempertahankan ideology dan ajarannya. Ini ditandai dengan lahirnya paham-paham sosialisme, komunisme serta kapitalisme. lahirnya Carlmaks, Nethze, Adam Smitt dan banyak lagi tokoh-tokoh yang melakukan perubahan bentuk pemikiran lewat perang pemikiran sesungguhnya.
Kembali ke wilayah seni yang berkembang di Indonesia. Namun sosiologi seni Masyarakat Indonesia masih merupakan campur aduk nilai-nilai budaya yang membentang secara historis, yakni sejak masyarakat primitif prasejarah sampai pada masyarakat primordial metropolitan, dan juga membentang secara horizontal, yakni berbagai kesatuan etnik yang berbagai ragam. Dan karena berbagai campuran tadi, maka dalam masyarakat majemuk Indonesia juga terjadi berbagai adukan dari berbagai seni hidup atau teater.
Dinilai dari luar aktifitas budaya yanghidup dan berkembang di desa, Sebelum perang dunia kedua, gejala masih hidupnya seni pertunjukan mesolitik-neolitik di lingkungan masyarakat pun masih tampak, sedangkan di Indonesia sebelum bangsa asing datang dan mengimfasi Indonesia budaya inipun ada, Nampak.kini gejala tersebut semakin menipis. Makin sedikitk anggota masyarakat Kota dan Desa yang mau menanggap jenis-jenis seni pertunjukan asli semacam itu. Bahkan para pewaris seni pertunjukan semaca itu semakin berkurang. Banyak para penari, penutur pantun, dalang dan pelaku budaya tradisional yang sudah tua dan tidak ada upaya meregenerasikan.
Dan bersama berlalunya waktu yang mereka hadapi maka hidup yang mereka jalani tetap hidup di dinia ini, maka nilai hidup ini berakhir pada fase jenis seni pertunujukan mereka ciptakan. Orang barangkali harus mejelajah desa-desa dan kota-kota untuk menemukan kembali sisa-sisa pewaris seni pertunjukan sebab walau nilainya tidak diwariskan pada orang tertentu, tapi nilai ini dapat diserap oleh pendengarnya.

Sabtu, 24 April 2010

search space, place and time

search space, place and time. This theater space lokalistik talking about a space in which there are plenty of educational content. of the techniques demonstrated by the perpetrators, the arts will be called a search space of traditional art background of underdevelopment or primitive. look into himself that the arts can lift ketengah aceh modern society.